Kalangan pakar pertanian mengusulkan agar pemerintah merevisi harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras yang ada dalam Inpres No. 5/2015. Alasannya, saat ini harga gabah/beras sudah jauh di atas HPP, sehingga sulit bagi Bulog untuk melakukan pengadaan.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Prof. Dwi Andreas Santosa berharap pemerintah merevisi kebijakan HPP. Sebab, HPP yang berlaku saat ini sudah sejak tahun 2015. Saat itu pemerintah menaikkan HPP 12%, tapi inflasi mencapai 21%.
“Sekarang ini tahun 2017, HPP tidak diubah, padahal inflasi mencapai 28%. Ini mencederai petani,” katanya saat Diskusi Politik Ekonomi dan Tata Kelola Perberasan, serta Dampaknya terhadap Stabilitas Nasional di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kajian AB2TI pada September 2016 lalu, biaya produksi usaha tani padi sudah mencapai Rp 4.199/kg, sementara HPP masih tetap Rp 3.700/kg. Artinya, sampai kapan pun HPP itu tidak akan pernah tercapai. Karena itu AB2TI berharap, pemerintah segera mengubah HPP sebelum Maret minimal Rp 4.300/kg.
Tingginya harga gabah di lapangan, juga menyebabkan harga beras di pasar cukup tinggi. Meski pemerintah membuat HET beras medium Rp 9.450/kg, tapi harga di pasar sudah Rp 10.500/kg. Artinya HET tidak akan berlaku di lapangan. Harga beras akan tetap tinggi karena harga gabah tinggi di atas Rp 4.500/kg. “Angka itu jauh lebih tinggi dari tahun lalu, pada April 2017 harga GKP Rp 3800/kg, sekarang Rp 4.500/kg,” paparnya.
AB2TI berharap harga gabah tetap tinggi, karena akan menguntungkan petani. Tapi sayangnya, pemerintah justru mengimpor beras sehingga dalam jangka panjang menekan harga di tingkat petani. “Bagi AB2TI impor tidak masalah asalkan dilepas setelah selesai panen, sekitar Juli,” ujarnya.
Inpres Sulit Diterapkan
Sementara itu Guru Besar UGM, Prof. Maksum Machfoedz menilai, persoalan utama perberasan nasional pangkalnya Inpres Perberasan. Inpres yang diterbitkan pemerintah tahun 2015 tersebut kini sulit diterapkan, karena beberapa sebab.
Pertama, HPP yang ditetapkan jauh lebih rendah dari harga pasar. Karena itu saat panen dipastikan petani sudah mengetahui harga bakal tinggi. Harga gabah kini mencapai 4.500/kg, sementara harga GKP sesuai Inpres Perberasan hanya Rp 3.700/kg. “Jadi, secara inpemiris tidak masuk akal, Bulog bisa melakukan pengadaan yang sangat besar,” katanya.
Hitungan HPP yang berlaku saat ini, jika biaya giling gratis dan rendemen 63,3-64,11%. Namun kalau biaya giling Rp 300/kg, maka rendemen gabahnya 65,79-66,44%. Atau kalau biaya giling Rp 500/kg, maka rendemen gabah harus 67,65-68,39%. Padahal dengan kondisi penggilingan padi saat ini, rendemen gabah tidak ada yang sampai 64%. Bahkan secanggih apa pun penggilingan gabah, tidak ada rendemen yang sampai 68%.
Karena itu Maksum melihat terjadi krisis beras yang sifatnya abadi. Pertama, Inpres 5/2015 lemah, karena besaran HPP terlalu rendah dibandingkan harga di pasar. Kedua, untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah lalu membuat kebijakan subsidi pangan untuk penggilingan melalui program TTI agar harga beras Rp 7.500/kg.
Ketiga, pemerintah menetapkan HET beras medium Rp 9.459/kg dan beras premium Rp 12.800/kg, akhirnya juga mubazir. Meski kemudian pemerintah membuat fleksibilitas penyerapan gabah dengan harga 10% dan 20% di atas HPP, ternyata tidak berdampak. Akibatnyam Bulog gagal melakukan pengadaan saat panen raya. Bulog juga terlambat menyerap gabah. Yul
Editor : Yulianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar